MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG NUKLIR



Teknologi
26 Juli 2010
PLTN Aman dan Ramah Lingkungan?

* Oleh Ali Usman

KENAIKAN tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli 2010 sungguh membebani masyarakat, terutama kalangan ekonomi bawah menengah ke atas. Meski PLN menyatakan kenaikan itu sebagai konsekuensi logis dari krisis energi listrik. Menaikkan tarif dianggap langkah penyelamatan, meski bukan satu-satunya solusi.

Pemerintah hanya melakukan “subsidi silang”, yakni menaikkan tariff untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Namun sampai kapan ìsubsidi silangî itu bertahan? Pada saatnya kelak, meski sumber energi dari alam memadai, tetap bakal terkuras habis. Karena itu, yang perlu semestinya bukan semata-mata persoalan subsidi dengan menaikkan tarif. Namun juga harus berpikir ekstrakeras bagaimana kelak memperoleh pasokan energi listrik yang cukup dan bermutu. Sejauh ini para ahli dan pemerintah menaruh harapan besar pada realisasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memperbolehkan Indonesia membangun PLTN. Direncanakan, tahun 2017 Indonesia punya PLTN. Namun fakta bicara lain. Baru sekadar berencana, yang bakal diujicobakan di Jepara, masyarakat telah menolak program itu. Muncul pertanyaan mendasar: mengapa masyarakat menolak rencana pembangunan PLTN? Sebegitu berbahayakah PLTN bila diterapkan di negara kita? Pertanyaan itu sejatinya dapat dijawab tuntas oleh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan PLN. Tinjauan Akademis Memang sampai saat ini begitu mendengar kata “nuklir”, imajinasi kita langsung tertuju ke senjata pemusnah massal seperti bom atom atau bahaya radiasi akibat kecelakaan instalasi seperti di Chernobyl (Ukraina) dan Three Mile Island AS. Namun menurut pendapat para ahli, itu tak relevan lagi. Energi nuklir merupakan hasil reaksi fisi pada inti atom. Dewasa ini, reaksi inti yang banyak digunakan manusia untuk menghasilkan energi nuklir adalah reaksi antara partikel dan inti atom yang digolongkan dalam kelompok heavy atom seperti aktinida. Berbeda dari reaksi kimia biasa yang hanya mengubah komposisi molekul setiap unsure dan tak mengubah struktur dasar unsur penyusun molekul, pada reaksi inti atom atau reaksi fisi terjadi perubahan struktur inti atom menjadi unsur atom yang sama sekali berbeda. Ada beberapa keunggulan PLTN. Pertama, menghasilkan energi bersih. Para ahli berkesimpulan, PLTN tak mengeluarkan gas berbahaya seperti CO2, SOX, dan NOX. Saat ini, setiap tahun 25 miliar ton CO2 dilepas ke atmosfer, menyebabkan efek rumah kaca dan berujung ke pemanasan global. PLTN ramah lingkungan karena mampu mengurangi emisi CO2 yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil sehingga PLTN adalah solusi energi dalam mencegah pemanasan global. Kedua, stabil dan efisien. PLTN mampu menghasilkan energi yang besar, dengan kesetaraan 1 g EU (enriched uranium) sebanding dengan 112 kg batu bara sehingga PLTN tak membutuhkan banyak bahan bakar. Penggantian bahan bakar dengan waktu 1,5 tahun membuat PLTN sangat efisien, sehingga naik-turun harga uranium tak banyak memengaruhi harga jual listrik PLTN. Ketiga, diversifikasi energi dan bernilai ekonomis. PLTN akan mengurangi kebergantungan pada energi fosil. Kehadiran PLTN bukan untuk menggantikan energi fosil, melainkan sebagai pelengkap untuk menjamin ketersediaan energi. Hal itu juga akan menyebabkan kestabilan harga jual listrik, meski harga minyak dan batu bara naik. Biaya PLTN jauh lebih besar pada konstruksi ketimbang biaya bahan bakar. Dengan umur pembangkit yang mampu mencapai 60-70 tahun menyebabkan harga listrik PLTN paling murah dibandingkan dengan pembangkit lain. Keempat, dapat memfungsikan limbah dan daur ulang bahan bakar. Satu unit PLTN 1000 Mwe dengan operasi 40 tahun hanya membutuhkan tempat penyimpanan limbah berukuran 3 x 4 x 10 m3. Limbah itu merupakan bahan bakar yang sudah terpakai (spent fuel), namun juga merupakan aset berharga pada masa datang karena dapat didaur ulang menjadi bahan bakar PLTN lagi. Langkah Pengamanan Persoalannya, jika benar PLTN tak berbahaya, mengapa muncul penolakan di masyarakat? Barangkali ada beberapa kemungkinan, antara lain masyarakat sangat awam soal pengetahuan nuklir. Semestinya hal itu disikapi pemerintah dengan, misalnya, menyosialisasikan pengetahuan tentang PLTN. Sebab, selama ini pemerintah cenderung mengutamakan “wacana” realisasi program daripada sosialisasi terlebih dahulu. Akibatnya, terjadi kontroversi di masyarakat. Pengetahuan tentang pola pengamanan tak tersampaikan dengan baik ke masyarakat luas. Padahal, negara tetangga yang menerapkan PLTN telah menerapkan sistem pengamanan berlapis (defence in depth). Pertama, PLTN dirancang dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan sangat ketat, mutu tinggi, dan teknologi mutakhir. Kedua, PLTN dilengkapi sistem pengaman atau keselamatan untuk mencegah dan mengatasi akibat dari kecelakaan yang mungkin terjadi. Ketiga, PLTN dilengkapi sistem tambahan yang dapat diandalkan untuk mengatasi kecelakaan terparah yang diperkirakan dapat terjadi. Namun, konon, kemungkinan terjadi kecelakaan amat-sangat kecil. Selama operasi PLTN, pencemaran oleh zat radioaktif terhadap lingkungan dapat dikatakan tak ada. Air laut atau sungai untuk membawa panas dari kondensor sama sekali tak mengandung zat radioaktif, karena tidak bercampur air pendingin yang bersirkulasi di dalam reaktor. Gas radioaktif yang dapat keluar dari sistem reaktor tetap terkungkung di dalam sistem pengungkung PLTN dan sudah melalui ventilasi dengan filter berlapis-lapis. Gas yang lepas melalui cerobong aktivitas pun sangat kecil (sekitar 2 milicurie/tahun), sehingga tak menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Pengalaman Jepang sangat menarik disampaikan. Tahun 1945 Jepang dibom atom oleh Amerika. Dua kota, Hiroshima dan Nagasaki, hancur lebur. Namun Jepang saat ini begitu giat mengembangkan nuklir, termasuk untuk listrik. Di Jepang ada 50 lebih PLTN beroperasi dengan aman, sehingga rakyatnya makmur dan sejahtera. Bagaimana dengan Indonesia? (51) – Ali Usman, aktivis sosial, tinggal di Yogyakarta